It is currently day 131 of quarantine. Tbh when I googled “Days Calculator” I expected 400 something days. Then I realized that 1 year equals 365 days. Heh. The past 131 days do feel like 4 times longer. Odd times, don’t you think? A couple of days ago, an idea sprung to mind. I asked some of my friends a series of questions about the quarantine, focusing on personal feelings and relationships. I might -caps lock on the word MIGHT- make this into a series of quarantine posts, maybe the next one we’ll talk about the future or economy or something else. We’ll see. We’ll see. Anyhow, I curated their answers and I present this to you all. I sincerely hope reading these frank answers will shed light on some of your own feelings and struggles, as they did with me. "How are you feeling during the first few weeks of quarantine on a scale of 1-10?” 8, soalnya aku introvert dan ga gitu suka pergi-pergi jadi it's okay malah seneng bisa pulang kampung :D 10, seneng...
Lokasi Osaka di tengah, Kobe di kiri, Kyoto lebih jauh ke kanan. |
Petunjuk jalan dari Google Maps app. |
Sebelum ke Kyoto, rencananya kita mau makan siang di Kobe untuk mengincip daging Kobe legendaris itu. Tapi karena kebingungan sendiri mau taruh bagasi dimana (akibat kurang perencanaan dan research), akhirnya kita memutuskan untuk menitipkan bagasi di hotel Kyoto. Dengan menggunakan JR Pass, kita naik shinkansen dari Osaka ke Kyoto yang tidak sampai 20 menit dari stasiun Shin-Osaka. Setelah menitipkan bagasi, kita dibantu oleh resepsionis untuk reserve restoran Wakkoqu di Kobe. Saat itu dia bingung karena butuh waktu 1 jam dari Kyoto untuk ke Kobe, dan waktu makan siang hampir habis. Untungnya si resepsionis berhasil booking tapi dengan catatan tidak ada toleransi terlambat, plus memberikan kita petunjuk untuk ke Wakkoqu. Berlari-larilah kita kembali ke Kyoto Station untuk naik kereta (bukan shinkansen) ke Kobe. Sudah tegang karena takut nggak dapat harga lunch, harus dusel-duselan sambil berdiri di kereta sampai di Kobe. Lebih menyesal saat sadar bahwa kita harus melewati Osaka lagi untuk ke Kobe. Sesampainya di Sannomiya Station (pilihan tercepat saat itu), kita yang kebingungan bertanya kesana kemari dan tidak ada yang tau Wakkoqu. Akhrinya nekatlah kita pakai Google Maps dan bondo peta dari resepsionis. Untung kok jalan ke sana tidak njelimet meskipun cukup panjang. Kita sampai di Wakkoqu in time alias persis jam yang di-booking, sambil setengah ngos-ngosan.
Pegawai disana bergerak cepat, menyodorkan kita dengan menu. Kita memesan Wakkoqu Lunch Set lengkap dengan soup, salad, main course, dan dessert seharga 5440 yen (kalo tidak salah). Soupnya kurang enak, tidak cocok dengan lidah Indonesia. Rasanya seperti ada susu, kentang, dan banyak sekali tap water. Disajikan dingin tanpa pendamping. Saladnya menyegarkan, tidak ada saus yang berat, hanya sayur mayur dan jamur segar. Dressingnya light, hampir tidak terasa. Piringku tetap saja bersih, beda tipis antara nggragas sama doyan sayur. Chef menunjukkan daging kobe mentah yang akan dimasak saat kita menikmati salad. Sebagian dagingnya dimasak di teppan berbarengan dengan tahu, kentang, konnyaku (seperti agar-agar, rasanya tawar dan terbuat dari umbi) dan bawang putih. Chef menyodorkan piring di depan kita masing-masing saat daging sudah hampir matang. Dia menambahi black pepper dan salt yang masih gede-gede alias bukan bubuk. Dagingnya disajikan dengan dipotong kecil, cuman bisa sekali emplok. Cara makannya, daging pertama dimakan dengan sedikit garam. Yang kedua dimakan dengan pepper, ketiga dimakan dengan bawang putih. Dagingnya super empuk, tidak usah dikunyah. Disediai juga saus kecut-kecut seperti cuka dan saus manis mirip teriyaki. Tahu nya cocok dimakan sama saus kecut. Kentangnya juga enak dicocol di saus manapun, ditambahi garam tambah mantap. Untuk konnyaku-nya, aku masih nggak doyan. Agak geli gimana gitu. Semakin lama potongan daging semakin besar, jadi lebih puas. Sebenarnya daging kobe nya enak, tapi ya nggak sampek mind blown gimana. Uenak sih, nggak usah dikunyah dan rasa dagingnya sendiri itu susah dijelaskan, pokoknya wenak. Menurutku sih kebut-kebutan tadi untuk makan kobe terbayarkan, meski si bapak agak susah bedakan daging kobe sama steak di Domicile Kitchen Surabaya. Aku sendiri berpendapat asal masih masuk di budget dan memang ada waktu untuk mampir ya patut dicoba. Kan sudah jauh-jauh ke Jepang. Rata-rata sepertinya harga kobe disini lebih murah kok daripada di Indonesia.
Dessertnya lupa difoto karena biasa saja, cuman 1 scoop es krim polos. |
Sebenarnya banyak macam restoran yang menjual daging kobe dengan harga bervariasi. Tapi kita tidak planning untuk stay di Kobe seharian jadi tidak sempat untuk mencoba semua. Setelah makan, kita turun ke lantai sbasement (Wakkoqu berada di lantai 3 gedung Shinkobe Oriental Avenue) untuk naik kereta lagi. Ternyata malah nyantol di toko 100 yen di dekat pintu masuk station subway. Seperti daiso, tapi tempatnya luas dan barangnya bagus-bagus. Mulai dari stationery, snack, peralatan dapur, baju, dan pernak-pernik lainnya. Bolpen merk SARASA punya Zebra dan bolpen Uni yang biasanya mahal di Indo jadi 13 rebu-an disini. Boronglah kita buat cadangan sekolah. Snack dan bumbu instan nya juga banyak, hampir semuanya ala Jepang. Puas berbelanja, balik ke Kyoto dengan perut kenyang dan tangan penuh.
Kita memilih untuk melewati jalan yang sama untuk menikmati sedikit suasana kota Kobe, karena tadi cuman sibuk jalan cepat setengah berlari supaya nututi makan siang. Kobe bukan kota yang atraktif, warna-warna gedungnya monoton dan agak tua. Tapi aku juga nggak paham, mungkin ada bagian Kobe yang lebih menarik dan modern. Ketemu sama stall soft ice cream yang menggugah selera, tapi setelah susah-susah menyiapkan koin (supaya habis dan tidak berat), ternyata mereka sold out. Saat sampai di Kyoto, hari sudah gelap. Foto-foto sebentar di depan Kyoto Tower, balik hotel untuk taruh barang, baru lah hunting makan malam di Kyoto.
Hasil crop dari foto ber "orang". |
Comments
Post a Comment